By : Desmayuni (Guru MAN 4 Agam)
Seperti biasa, dalam rangka HUT RI berbagai kalangan menggelar lomba semeriah dan segembira mungkin. Katanya atas nama kesyukuran pada hadiah kemerdekaan.
Mulai dari lomba panjat pinang, membawa balon berpasangan, estafet sarung, makan kerupuk, memasukkan paku atau belut ke dalam botol. Merias wajah, masak memasak, sampai lomba joget-jogetpun tidak lupa.
Lomba yang menghibur dan semeriah mungkin. Kadang konyol dan nyeleneh, namun yang penting mengundang gelak tawa terpingkal-pingkal sampai sakit perut dibuatnya.
Meriah? Tentu.
Marwah? Selalu tergadai dan terjual murah!
Betapa tidak, bapak-bapak memperagakan pekerjaan atau perilaku seperti yang biasa dilakoni ibu-ibu. Pakai daster, pakai kerudung, pakai make up, berlenggak-lenggok seperti wanita.
Sebaliknya, ibu-ibu berjoget-joget, lucu-lucuan, konyol-konyolan.
Lomba-lomba itu dewasa ini meski dibalut dalam kemasan kreatif dan meriah namun kerap menjadi tontonan yang memalukan bahkan menjijikan.
Ibu-Ibu dan bapak-bapak, entah itu ibu rumah tangga, pegawai, pejabat bahkan guru-guru meskipun konyol dan nyeleneh, akhirnya menjadi tontonan yang lucu dan bahan tertawaan.
Tergadailah sudah rasa malu dan marwah. Meriah tetapi hampa marwah.
“Apabila kamu tidak mempunyai rasa malu, maka buatlah sesuka hatimu” (HR. Imam Bukhari dan Abu Dawud).
Oh ya, haruskah meriah menggadaikan marwah? Benarkah menjunjung marwah malah tidak meriah?
Islam tidak melarang perlombaan. Islam justru mensupport, bahkan memberi ruh.
Seyogianya perlombaan itu menjunjung marwah. Harkat dan martabat sebagai makhluk yang mulia. Mengedapkan rasa malu dan keadaban. Tidak mengekspos aurat kepada yang bukan mahram. Tidak menyuguhkan praktik perlombaan yang mengundang persepsi dan hasrat negatif.
“Barang siapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Jadi, bagaimana mungkin kita merendahkan diri setelah Allah meninggikannya? Bagaimana mana mungkin kita menelantarkan harga diri setelah Allah menjaganya? Nauzubillah…
Seyogianya perlombaan itu sarat value dan manfaat. Bukan yang kering nilai dan manfaat. Bukankah kita diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang unfaedah?
“Diantara kebaikan Islam seseorang bahwa dia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bukankah nabi Muhammad SAW sendiri pernah lomba lari dengan istri tercinta, Ummul Mukminin, Aisyah ra. Sekali Nabi Muhammad SAW yang menang, dan kali yang lain Aisyah ra yang menang.
Apa kita lupa, bagaimana seorang muslim memeriahkan kemenangan. Kemenangan dan kemerdekaan hakiki, terbebas dari belenggu nafsu angkara murka, terbebas dari api neraka dengan euforia dan meriah Takbir, Tahlil dan Tahmid yang dikumandangkan sangat ekspresif.
Ok, baiklah. Sekarang mari kita sambut HUT RI ke 80 ini, dengan penuh syukur dan semeriah-meriahnya.
Meriah namun penuh marwah.
Tinggalkan Komentar