Info Sekolah
Jumat, 13 Jun 2025
  • PPDB MAN 4 Agam Tahun Ajaran 2025/2026 telah dibuka. Silakan kunjungi MAN 4 Agam untuk informasi lengkap.
  • PPDB MAN 4 Agam Tahun Ajaran 2025/2026 telah dibuka. Silakan kunjungi MAN 4 Agam untuk informasi lengkap.
2 Juni 2025

Ke Mekah, Kita Ngapain

Sen, 2 Juni 2025 Dibaca 424x

By : Desmayuni (Guru Fikih MAN 4 Agam)

Ke Mekkah, kita ngapain?!
Ah! pertanyaan yang sepertinya tidak perlu ditanyakan.

Tetapi, bagaimana tidak–bagi jiwa-jiwa yang sedang menanti panggilan Ilahi–meronta, menggebu, berharap cemas, entah kapan dan bagaimana bisa ada di sana.

Menyaksikan penuh heran, poto-poto tetamu Allah berseliweran di laman medsos. Sejak masa keberangkatan hingga kembali ke tangga rumah membawa titel “Haji dan Hajjah”. Di setiap sudut Tanah Haram. Di setiap prosesi ibadah. Semua detail, terekam kamera secara nyata.

Mereka happy banget. Santai dan santuy. Gaya dan narsis. Senyum merekah, bahagia, senang tak ubah seperti “tourist” yang sedang bertamasya.

Imam Besar Masjid Nabawi, Syekh Sulaiman Ar Ruhaili, pernah menyindir jamaah haji Indonesia dalam sebuah ceramahnya, “Meskipun itu di Mesjid Nabawi. Khatib sedang berkhutbah. Dia seperti ini…(Memperagakan cara selfi). Dia tidak mendengar khutbah sama sekali. Bahkan mereka terkadang berbohong dalam mengambil poto.  ‘Permisi, tolong ambil gambar saya…’ (Sambil memperagakan mengangkat tangan seperti berdoa). Bohong! Padahal dia tidak sedang berdoa. Akan tetapi jika jamaah Indonesia mengambil poto, dia pamerkan itu di majelis bahwa dia lagi berdiri di Masjid Nabawi dan sedang berdoa…Dan aku jelaskan kepada manusia, bahwa hal itu adalah Haram”. (Akun Official Okezone).

Belum lagi, kok sempat-sempatnya para tetamu Allah itu berburu barang-barang yang katanya berkualitas mahal, tetapi dijual murah. Tidak ditemukan di tanah air lho…

“Jokowi, Jokowi, Lima Puluh Ribu saja”, “Probowo, Prabowo…!” teriak Sang pedagang menawarkan jualannya, mengusik jiwa konsumtif jamaah Indonesia.

Ah! Kita ke Mekkah sebenarnya ngapain?!

Setiap umat muslim pasti mengetahui, bahwa ibadah haji adalah rukun Islam yang ke-lima. Hukumnya wajib bagi yang “istitha’ah”. Bahkan dihukum kafir bagi yang mengingkarinya. Sementara ibadah umrah hukumnya Sunnah.

Ibadah haji dan umrah dari segi unsur pelaksanaannya adalah kolaborasi terbaik dan harmonis antara ibadah jasmaniyah, rohaniyah sekaligus maaliyah.

Harta yang halal, terbaik, termahal dan royal kepada Allah.

Diri yang lusuh, dekil berdebu. Tidak glamor dengan perhiasan, kemewahan dan kemegahan. Sebaliknya tawadhu’, dekat kepada orang-orang yang lemah dan miskin namun shaleh. Menjauhi “rafats, fusuq dan jidal”.

Penting untuk diingat, bahwa ibadah haji adalah sarana penyucian jiwa. Pembiasaan jiwa melakukan sejumlah nilai bahkan yang kontradiksi dengan wilayah nalar dan keinginan normal. Seperti melontar, sa’i, tawaf dan sebagainya. Saat itu akal dipisahkan dari tugas dan fungsinya. Jiwa dikebiri dari kecenderungan dan kesukaannya.

Untuk apa?!

Agar kita dapat memetik sifat kehambaan. Ketundukan yang perfeksionis. Itulah ibadah yang paling baik dalam mencapai penyucian jiwa.

Sementara itu, untuk dapat sampai kepada Allah, maka kita harus menyucikan diri dari berbagai syahwat, menahan diri dari berbagai kenikmatan, mencukupkan diri pada sebatas kebutuhan primer serta “tajarrud” (lillahi ta’ala) baik dalam gerak maupun diam.

Malam, subuh dan senja bolak-balik ke Baitullah. Ritual ibadah tanpa jeda. Sibuk. Tenggelam dalam asyik mahsyuk percintaan dan persembahan kepada Sang Pecinta. Tidak ada lagi dunia yang menggoda. Sunyi. Bahkan, di sini–di Arafah–putih berseri pakaian ihram–terbayang tempat berhimpun nanti (Padang Mahsyar).

Lalu, mana sempat kita berpoto-poto, narsis-narsis, shoping-shoping di Mekkah Al Mukarram ? Mana sempat kita menaruh dunia di dalam jiwa walaupun hanya sedebu? Bukankah khusyuk tidak akan hadir di dalam hati yang masih menyimpan setitik dunia?

Jadi, ke Mekkah kita ngapain?!

Well, apabila kita telah menuntaskan semua prosesi haji dan umrah, hendaklah hati merasa sedih dan cemas apakah hajinya diterima atau ditolak. Apakah dia termasuk orang yang dicintai Allah atau orang yang diusir.

Deteksilah hati untuk mengetahui value haji kita.

Apakah hati semakin jauh dari gemerlap dunia atau semakin dekat dengan tipu dayanya?

Apakah berbagai amalan kita, semakin akurat dengan standar syariat atau malah sebaliknya?

Jika jawabannya: hati semakin menjauh dari dunia dan amalan semakin akurat sesuai standar syariat, beruntunglah kita. Haqqul yakin, haji kita diterima, mabrur.

Sebab, Allah tidak akan menerima kecuali orang yang dicintaiNya. Barang siapa yang dicintaiNya, maka Dia akan membimbingnya sebagai realisasi dari cintaNya.

Namun jika jawabannya: hati semakin dekat dengan tipu daya dunia dan amalannya semakin jauh dari akurasi standar syariat, rugilah kita. Ritual haji kita hanya berbuah derita dan letih saja. Nauzubillah…

Sumber:
Akun YouTube officialokezone
Sa’id Hawwa, Inti Sari Takzkiyatun Nafs